Kamis, 08 November 2012

Bakaco diri


Masih saja sibuk dalam rutinitas tanpa batas
Banyak hal-hal tertinggal perlahan,
Padahal itu merupakan kerikil-kerikil penguat bangunan,
ketika dia rapuh, maka lambat laun pasti akan juga merapuhkan seluruh bangunan

Seakan lupa pada gegap gempitanya masa
Masa yang akan meneggelamkan masa sebelumnya
Bagi dia yang tidak bersiap sedia,
Mensingsingkan lengan baju untuk selalu berbuat terbaik bagi dia dan sekitarnya

Ingat lah ia, kawan, tetangga sebelamu mungkin
Yang hari ini bekerja, untuk makan hari ini
Jika tidak bekerja, bisa jadi tidak mengepul asap dapur rumah tangga
Sementara aku, masih saja bisa menyerumput kopi malam-malam, bersenda gurau tanpa tujuan yang berarti

Karna masa itu datang cuma  sekali
tak akan kembali, bisa jadi kembali dalam saluran dan gelombang yang jauh berbeda
Akan kurapikan kembali rasanya, kerikil yang terlanjur terserak
karna ia penguat bangunan ini, pengokoh dari segala guncangan-guncangan hakiki

Jika bukan mu, mungkin akan ada orang lain nanti
yang lebih baik, dan lebih gesit diujung dunia kini
yang akan mengganti peran-peran orang yang sudah tak kuat dan tak kuasa dalam kelalaiannya
dan tinggallah jari digigit sebagai penyesalan terakhirnya.

Rabu, 07 November 2012

Iman

Duhai Iman, masihkah engkau berada dalam sisi kehidupan, menjadi perujuk dalam setiap tindakan, penguat dalam tingkahlaku keseharian

Duhai Iman, masihkah kau bertahan dalam singgasana kehidupan, ditengah gempuran perusak jiwa, perusak rasa, perusak kehidupan yg sebenarnya

Godaan kehidupan merupakan bumbu penyedap, yang menjadikan hidup lebih berwarna, dan menjadi lebih bernyawa,menjadi pematah atau penyemangat cuma tergantung kita, tergantung bagaimana kita menilainya, dan mensikapinya. Seakan tipis, tetapi beda pensikapan.

Tetaplah bertahan dalam singgasana hati yang luarbiasa, godaan kehidupan cuma menjadi sendagurau belaka, menjadi lebih yakin dan terungkap dalam laku dikehidupan yang sesungguhnya.

Minggu, 04 November 2012

wajah anak pinggiran

Anak itu masih dengan setianya duduk dipinggir jalan, sambil sesekali menghirup lem aibon yang ditutupi disela-sela kain, terlihat nanar disela-sela wajah mudanya, sambil sesekali mengulangi perbuatan yang sama, menghirupkan lem aibon ke hidungnya.

Anak itu masih terlihat lugu, lugu dalam arti yang sesungguhnya, belum layak rasanya dipekerjakan menjadi seorang peminta-pinta. Terlihat ayu wajah kecilnya, tapi juga terasa kontras dengan kusamnya penampilan yang dibawa. Setiap lampu merah menyala, dengan sigapnya ia akan mendekati pengendara, mengadahkan tangan tanda meminta, dengan wajah belas kasihan berharap pengendara mau merogoh koceknya untuk sekedar memberi, sekedarnya, sekedar buat makan keluarganya, yang sedang menunggu dipinggir trotoar sana.

Ini wajah kita kawan, wajah kebanyakan, wajah seakan-akan tanpa harapan, apakah harus diperangi dengan memasukannya kedalam tahanan, atau ada sedikt asa yang kita bawa buat mereka. Tidak memberi kepada anak kecil yang meminta-minta dipinggir jalan dengan alasan nanti akan terbiasa, itu juga bukan solusi, toh pemerintah abai terhadap mereka, toh pemerintah seakan tidak berdaya, karna terlalu sibuk mengurus perutnya.

Ini wajah kita, penerus generasi selanjutnya, penerus perjuangan bangsa, tapi tidak terurus oleh negaranya, sendiri. Akankah kita cukupkan kepada mereka, atau mungkin kita menjadi bagian dari sebuah solusi kedepannya.

Masih pagi di akhir pekan.