Sabtu, 22 September 2012

Pilihan bersikap

Jakarta dipastikan akan mempunyai pimpinan baru, pemimpin yang dipilih berdasarkan suara terbanyak warga ibu kota, yang suka atau tidak suka, ya kita harus menerima bahwa inilah pemimpin kita yang baru untuk 5 tahun kedepan.

Memang sempat menjadi dinamika sendiri, ketika kita dihadapkan pada sebuah pilihan dan sangat dinantikan keputusan kita akan sebuah pilihan tersebut, karna dengan pilihan kita itu secara tidak langsung akan berdampak bukan buat kita, tapi juga buat orang sektar kita.

Tentu sebelum memilih, kita juga sudah dijejali denag berbagai macam refernsi logis maupun tak logis, kenapa kita harus memilih A atauk kenapa kita harus memilih B, pada dasarnya preferensi itu dikembangkan oleh orang lain yang juga punya keinginan sama, agar pilihannya tersebut juga dipilih oleh kita, agar kebaikan orang tersebut dapat kita tangkap dan kita maknai sama seperti ia memaknai pilihannya.

Setelah kita banyak mereangkum referensi, atas histori cerita, berita yang berkembang, dan hal-hal lain yang kita perhatikan, maka disitulah kesempatan kita memutuskan. dan kesempatan kita pun sudah kita lakukan kemarin, yang menurut saya bentuk memutuskan adalah suatu sikap yangbertanggung jawab atas nasib kota ini kedepan, kenapa menjadi bentuk tanggung jawab, karna disitulah kita akan merasa, seburuk atau sebaik apapun kota kita kedepan, itu bukan karna siapa-siapa, itu merupakan karna kita, karna kita telah memilih atau kita tidak memilihnya, untuk menjadi pemimpin di ibukota tercinta.

Sabtu Pagi cerah berseri
7.38


Jumat, 21 September 2012

Masih saja

Masih saja, bisa kuperhatikan secara terbuka, anak-anak kecil, masih terlau belia, seakan dosapun masih enggan menyapa, terdampar diperempatan jalan itu. Jalan yang begitu gagah, dihuni berbagai gedung tinggi menjulang, denagn lalu lalang manusia-manusia modern yang necis dan wangi. Tapi masih saja pemandangan itu masih tampak dan lekat kulihat dalam setiap harinya.

Masih saja, dengan mudah kuperhatikan apa yang mereka lakukan, dalam setiap lampu merah yang menyala, maka mereka akan mendekatkan dirinya, dang meminta-minta para pengendara yang melintas disekitarnya. Masih saja dapat kulihat, begitu angkuhnya ibukota menolak mereka, menolak dalam artian yang sebenarnya, menolak seorang anak meminta-minta, disaat ibu mereka bercanda dipinggir jalan itu, berteduh dengan riangnya menunggui anak mereka bekerja, memarahinya bila tidak bisa menunjukkan belas iba kepada para pengendara.

Masih saja, ,ku merasa iba kepada masa depan mereka, merasa marah yang luar biasa kepada para ibu-0ibu yang telah dengan tega membiarkan anak mereka meminta-minta, yang telah membunuh masa depan anaknya, seakan tanpa harapan dan kepastian dimasa dewasanya.

Masih saja, kuberpikir akan kemana bangsa inii akan berarah, ketika anak-anak kecil yang akan menggantikan kita, besar dengan cara seperti ini,ketika ketimpangan semakin tampaknyata dipermukaan. Apakah bangsa ini, telah kehilangan visi kebangsaan, untuk memajukan bangsanya sendiri, bukankah mereka telah diamanatkan undang-undang bahwa mereka akan dipelihara oleh negara. Lalu kemanakah peran negara atas ini semua, apakah para pejabat-pejabatnya masih hanya memikirkan urusan perut mereka, urusan harta untuk generasi ketujuh pun masih belum akan habis.

Dimanakah kau, wahai pemegang tampuk kekuasaan, apakah masih saja menutup mata pada mereka. Jikalupun ia, alangkah baiknya, ketiak pemegang amanah sudah tidak lagi amanah, maka kepada kitalah kewajiban itu dialihkan, kepada kitalah mungkin mereka berharap, sedikit akan masa depan baik mereka.

Semoga dengan itu, akan memperberat amalan-amalan baik kita, untuk dibawa di akhiratNya kelak, sebagai penambah pahala ketika kita dihadapanNya.